Selasa, 23 Oktober 2012

Iklan dan Kekerasan Simbolik


Dosen Tamu: Endang Purwani



Iklan ada dimana-mana, seakan mengikuti kemana saja kita pergi sepanjang hari. Di rumah, jalanan, pasar, kantor, kampus, sekolah, stasiun, halte bus, bandara, taksi, lift maupun toilet kita selalu bertemu iklan
Iklan telah mengepung kita dari berbagai penjuru dan sepanjang waktu, sehingga memungkinkan untuk mampu menembus hampir semua celah kehidupan setiap orang
Pengiklan seolah tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.


Iklan tidak hanya sekedar bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli suatu produk. Akan tetapi lebih dari itu, iklan turut berpengaruh dalam membentuk sistem nilai, gaya hidup maupun selera budaya tertentu
Iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari produk yang harus dijualnya, tetapi mencoba membuat bagaimana sifat atau ciri produk tersebut mempunyai artisesuatu bagi kita


Dalam konteks inilah iklan mendefinisikan image tentang ‘arti tertentu yang diperoleh’ ketika orang menggunakan produk tersebut
Proses ini oleh Williamson (1978 : 20) disebut sebagai using product is currency, yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai ‘uang’ untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli.


Pollay membagi fungsi komunikasi iklan menjadi dua
–Fungsi informasional, iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk.
–Fungsi transformational, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses dan sebagainya.


Baudrillard : iklan adalah bagian dari sebuah fenomena sosial bernama consumer society.Obyek dalam iklan tidaklah berdiri sendiri, melainkan dibentuk oleh sebuah sistem tanda (sign systems)
Analisis Baudrillard berkontribusi dalam mengembangkan analisa mengenai produksi dan reproduksi pesan yang melibatkan peran dari citra (image) pada masyarakat kontemporer



Barthes menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang ahli linguistik.
Barthes tertarik untuk membongkar makna dari pesan-pesan yang disampaikan lewat image maupun teks dalam media dan fenomena sosial lainnya. Makna ini dibongkar dengan terlebih dahulu menganalisa tanda-tanda yang merepresentasikan makna, dengan menggunakan semiotik sebagai kerangka analisa. Barthes menyumbangkan pemikiran mengenai peran media dalam reproduksi pesan-pesan ideologis


Fokus pemikiran Hall dalam studi media massa mencakup hubungan antara produk budaya yang secara ideologis dikodekan dengan strategi khalayak untuk mendekode (decoding) pesan-pesan tersebut
Pemikiran Hall menjadi semacam kritik bagi posisi khalayak yang lemah dalam berbagai studi mengenai dampak media


Baudrillard : iklan adalah bentuk dari sign systemyang mengatur makna dari obyek atau komoditas. Iklan juga dipandang sebagai perangkat ideologis dari kapitalisme konsumen (consumer capitalism)
Barthes : iklan juga dilihat sebagai signs, yang mengatur makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan. Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat senetral mungkin, proses signifikasi (pembuatan tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai myth




Pemikiran Hall relevan untuk dijadikan basis analisa terhadap iklan sebagai bagian dari produksi pesan ideologis. Dalam hal ini, Hall melihat media/iklan sebagai konstruksi dari subjektivitas (construction of subjectivity)


Baudrillard iklan sebagai wacana yang dikodekan (coded discourse) dan melekat pada sebuah produk, tidak memiliki hubungan dengan realitas (hyperreal)
Barthes menganggap bahwa tanda masih bisa merepresentasikan realitas (signifikasi tingkat pertama atau denotasi). Sedangkan pada signifikasi tingkat kedua (konotasi), tanda bisa merepresentasikan sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat situasi kultural atau sosial yang sama.
Sementara sebagai sebuah myth,signsdalam iklan dianggap merepresentasikan pesan idelogis dari si pembuat iklan (dalam konteks ini, adalah kelas borjuis)

Hall membagi dua aktor/fungsi, yaitu encoder-decoder/encoding-decoding. Media/pengiklan adalah encoder yang melakukan pengkodean pesan-pesan, sesuai dengan norma-norma professional (atau estetik, dalam konteks pengiklan) dan ideology yang hendak disampaikannya. Ketika pesan-pesan tersebut dikodekan secara simbolis, khalayak memiliki kebebasan untuk melakukan decodingdari pesan-pesan tersebut


Baudrillard menegaskan bahwa melalui kode-kode dalam sebuah pesan, manusia sadar akan dirinya dan kebutuhan-kebutuhannya. Kode-kode tersebut secara hirarkis memiliki tingkatan yang digunakan untuk menandakan perbedaan-perbedaan (distinctions) dari status dan kelas.
Barthes berpendapat bahwa iklan memiliki berbagai makna sesuai dengan tingkat signifikasi yang dilakukan oleh khalayak. Dengan demikian makna dari pesan yang disampaikan oleh iklan menjadi sangat majemuk





Hall melihat ada tiga kemungkinan dari resepsi khalayak mengenai pesan iklan yang diterimanya, yaitu:
1)Dominant hegemonic, apabila khalayak menafsirkan pesan sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh media/pengiklan;
2)Negotiated, apabila khalayak mengambil posisi untuk secara terbatas (subtly) mengkontestasi makna pesan;
3)Oppositional, apabila khalayak mengambil posisi yang berseberangan atau menolak samasekali pesan yang disampaikan.
Ketiga kemungkinan proses decoding yang dilakukan khalayak dipengaruhi oleh budaya, disposisi politik, hubungan mereka terhadap jaringan kekuasan yang lebih luas dan akses terhadap teknologi media massa (radio, televisi, internet, dsb.)


Bagi Bourdieu, seluruh tindakan pedagogis baik itu yang diselenggarakan di rumah, sekolah, media atau dimanapun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan sistem nilai atas pelaku lainnya, sebuah kekuasaan yang berakar pada relasi kuasa antara kelas-kelas dan atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.


Diasumsikan bahwa media dan iklan merupakan sarana yang digunakan untuk melakukan tindakan pedagogis dari kelas atau kelompok sosial tertentu
arena iklan tidak hanya menjadi ajang kontestasi image simbolik produk yang ingin dipasarkan namun juga imagesimbolik realitas sosial secara luas


Iklan menjadi sebuah mesin kekerasan simbolik yang bisa menciptakan sistem kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu sesuai dengan kepentingan kelas atau kelompok dominan.
Image-imagesimbolik yang diproduksi iklan seperti misalnya kebahagiaan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern pada dasarnya merupakan sistem nilai yang dimiliki kelas atau kelompok dominan yang diedukasi dan ditanamkan pada suatu kelompok masyarakat.


Proses penanaman nilai melalui iklan dapat membentuk habitus tentang sistem nilai tersebut. Sehingga iklan tidak hanya menciptakan subjek yang dapat meregulasi diri terkait konsumsi produk namun juga subjek yang dapat meregulasi diri terkait klasifikasi dunia sosial, disini kemudian terjadilah kekerasan simbolik.

image-imageyang diproduksi iklan adalah tindakan pedagogis yang dapat memaksakan secara halus nilai-nilai, standar-standar dan selera kebudayaan kepada masyarakat atau sekurang-kurangnya memantapkan preferensi kebudayaan mereka sebagai standar dari apa yang dianggap tertinggi, terbaik dan paling absah. Dominasi kelas terjadi tatkala pengetahuan, gaya hidup, selera, penilaian estetika dan tata cara sosial dari kelas yang dominan menjadi absah dan dominan secara sosial










Tidak ada komentar:

Posting Komentar