Senin, 01 Oktober 2012

Perselingkuhan Wartawan dan Narasumber


Kelas Kapita Selekta kali ini dikunjungi oleh Maman Suherman, presenter acara Mata Hati di Kompas TV. Selama kurang lebih 100 menit, Maman membagikan kisah pengalamannya dalam dunia hiburan pertelevisian. Menurutnya, dunia pertelevisian yang terlihat dimata masyarakat sangat tidak sama dengan apa yang dilihat dimata wartawan. Maman juga menambahkan bahwa dimana dalam dunia pertelevisian terdapat sebuah agenda setting. Agenda setting yang dilakukan banyak televisi adalah untuk kepentingan pribadi atau suatu kepentingan. Di Indonesia banyak terjadi agenda setting sehingga satu hal tidak sesuai dengan hal lainnya.

Contoh nyata seperti pada waktu terjadi lumpur Lapindo dimana statsiun televisi metro tv menyebutkan lumpur Lapindo sebagai lumpur Lapindo. Namun, bagi stasiun televisi tv one menyebutkan lumpur Lapindo itu dengan sebutan lumpur Sidoarjo. Ini membuat masyarakat cukup bingung untuk mencerna informasi tersebut. Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa jurnalisme harusnya memberikan informasi yang sesuai fakta kepada masyarakat, bukan justru membuat informasi menjadi kabur dengan perbedaan penyebutan suatu hal. 

Menurut Maman, televisi (TV) menggunakan frekuensi publik milik negara yang terbatas. Karena terbatas maka itu harus high regulated atau peraturannya harus sangat ketat. Kendati demikian kini ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran P3SPS mungkin menakutkan pemilik TV karena TV tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan individu termasuk kepentingan pemiliknya.

Undang-undang di Indonesia banyak yang tidak sinkron satu sama lain. Salah satu contohnya adalah UU pornografi (44/2008). Didunia, Indonesia adalah negara ke-3 tujuan orang asing melakukan pedofilia. Ini membuktikan bahwa di Indonesia terlalu bebas sehingga menjadi sasaran orang asing dalam melakukan tindak pornografi.

Menurut PK. Oyong, tujuan jurnalisme hanya ada dua, antara lain :
1. Sebagai pencerahan
2. Sebagai pemerkayaan

Maman juga menuturkan bahwa kita sebagai bagian jurnalisme harus berpikir dengan pikiran minoritas, bukan berpikir dengan pikiran mayoritas. Selain itu, fakta berikutnya mengenai ketidakkonsekuenan undang-undang di Indonesia adalah perbedaan UU pers (penyiaran) dengan UU film yang tidak sejalan. Maka tak heran jika kita mendengar banyak film di Indonesia yang lulus sensor namun tak mampu menembus lulus sensor di televisi. Itu dikarenakan faktor rancu yang terdapat dalam UU film dengan UU penyiaran (pers).

Pagar api : Ini iklan bukan berita. Fakta bersifat sakral dan opini bersifat bebas (tidak boleh dicampuradukan).
Not for atribution : tidak boleh sebut nama.
Off the record : masih boleh sebut nama tetapi tidak boleh kalimat langsung.
Embargo : tidak boleh menurunkan berita sebelum tanggal sekian.


Indonesia Media Watch (IMW) mengundang para aktivis (pers), pencinta buku, mahasiswa/pelajar, dan masyarakat umum untuk hadir dalam diskusi, dengan tema: ‘Perselingkuhan’ Wartawan dan Narasumber
Sekaligus peluncuran Buku ‘BOKIS’
Bersama: Maman Suherman
(Penulis Buku Bokis, Matahati, Host Acara Mata Hati KompasTV, Mantan Pemred di Kompas Group & Tim Pakar Indonesia Media Watch)
Acara di buka dengan aksi komedi atraktif oleh kelompok seni “Wayang Beber Metropolitan” dalam lakon:
“Yang Salah.. Yang Benar.”

The Wisdom
Jl.Veteran 1 No.33, Gambir – Jakpus
Jumat, 28 sept 2012, Pukul:18.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar